Koran-koran di negeri ini memberitakan tragedi mobil terjun bebas dari lantai 8 Gedung Jamsostek di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, pada 22 Januari 2008. Tragedi itu menewaskan si pengemudi mobil bernama Heryawan. Koran Jawa Pos memaparkan fakta hasil pengamatan yang penting: Di lantai parkir gedung bertingkat itu tidak terdapat beton penahan ban belakang mobil. Demi keselamatan, biasanya beton seperti itu terpasang dua buah pada jarak satu meter dari pagar tepi lantai parkir gedung bertingkat (Jawa Pos, 23 Januari 2007).
Perlu dicatat, kejadian serupa beberapa kali terjadi. Pertama, 11 Desember 2006, sebuah sedan terjun dari lantai 4 Palembang Indah Mall di Jalan Radial, Palembang. Kedua, 14 Januari 2007, sebuah mobil boks terjun dari lantai 3 area parkir Mal Pangrango, Bogor. Ketiga, 17 Mei 2007, sebuah mobil terjun bebas dari lantai 6 area parkir gedung ITC Permata Hijau, Jakarta.
Keempat, Desember 2007, di lantai 5 area parkir gedung yang sama, nyaris berlangsung kejadian serupa. Kendati mobil masih bisa direm sehingga tidak sampai terjun bebas, tembok tepi lantai parkir yang rapuh itu hancur dan reruntuhannya mengenai mobil lain (Jawa Pos, 23 Januari 2008; Suara Merdeka, 23 Januari 2008).
Catatan itu dapat mengentak kesadaran kita tentang pola mental dan perilaku kita yang lebih dekat dengan kultur kematian ketimbang kultur kehidupan. Secara sederhana namun mendasar, kultur kematian dapat dimaknai sebagai pola mental dan perilaku mendarah daging yang tidak menghargai keselamatan dan kehidupan sebagai nilai-nilai eksistensial yang sangat penting.
Kultur kematian mengakari pandangan dan perilaku yang tidak peduli kepada nyawa manusia. Ketika kehidupan kita diresapi kultur kematian, di mata kita, nyawa manusia tidak lagi berharga. Kultur kematian menggiring kita untuk menjalani kehidupan sehari-hari secara serampangan, tidak peduli pada keselamatan diri dan pihak lain, dan nekat melakukan tindakan-tindakan yang membahayakan diri dan orang-orang lain. Kultur kematian mengakari pelanggaran aturan, pengabaian standar, dan penyimpangan prosedur operasi.
Dapat dibayangkan, kultur kematian tidak hanya menjadikan nyawa gampang melayang, melainkan juga menjadikan suasana kerja dan kehidupan pada umumnya semrawut dan tidak nyaman. Ujungnya adalah kinerja yang buruk, ketertinggalan dari bangsa-bangsa lain, dan ketidakbahagiaan.
Kita makin terperanjat ketika menyadari betapa peresapan kultur kematian yang begitu mendalam (pervasive) benar-benar dikukuhkan oleh fakta-fakta kecelakaan bertubi-tubi di darat, udara, dan laut, fakta-fakta kecelakaan kerja, dan fakta-fakta "musibah" fatal seperti yang terjadi dalam pengeboran minyak bumi di Porong, yang kemudian membuahkan banjir lumpur panas amat mengerikan.
Peresapan mendalam kultur kematian dalam kehidupan kita juga ditegaskan oleh perilaku berlalu lintas yang sangat serampangan. Perilaku serampangan di jalan-jalan umum ini tidak hanya sangat membahayakan diri dan orang-orang lain, melainkan juga menerpakan kecemasan dan ketertekanan jiwani bagi banyak orang yang sehari-hari menggunakan jalan-jalan umum.
Jangan dilupakan, kultur kematian yang meresap mendalam itu juga mengejawantah dalam pelaksanaan pekerjaan yang serampangan atau asal-asalan, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kehidupan para pengguna produk atau jasa yang dihasilkan dari pekerjaan itu.
Pada perspektif ini, para perajin tahu dan tempe atau bakso merasa wajar-wajar saja mencampurkan formalin ke dalam bahan-bahan makanan yang mereka produksi. Bahkan, di negeri ini, produsen besar sampo berkelas korporasi multinasional pun tega mencampurkan formalin dalam produk samponya, dengan dalih yang sangat prokultur kematian: "Kan campuran formalinnya sangat sedikit. Dalam kadar yang sangat sedikit itu, formalin tak membahayakan kesehatan."
Pada perspektif lebih jauh dan mendalam, dapat dikhawatirkan, jika kultur kematian sedemikian meresap mendalam, jangan-jangan pelaksanaan profesi-profesi yang memiliki tradisi etis, keilmuan, dan praktikal yang sangat menjunjung tinggi kehidupan dan kultur kehidupan (lawan dari kultur kematian), semisal profesi kedokteran, juga tidak terbebas dari corak-corak kultur kematian.
Bercak-bercak malapraktik serta corak-corak sikap dan kerja dokter yang serampangan di negeri ini bisa jadi merupakan tanda-tanda peresapan kultur kematian dalam profesi tersebut.
Jika profesi kedokteran sebagai profesi yang secara tradisional memiliki kebiasaan etis, keilmuan, dan praktikal pro-kultur kehidupan paling kental juga diresapi kultur kematian, dapat dibayangkan, mungkin profesi-profesi lain pun tidak terbebas dari resapan kultur kematian yang amat mengerikan.
Seluruh bentangan perenungan itu mungkin mencukupi untuk menegaskan betapa kita perlu keluar dari resapan dan kungkungan kultur kematian, kemudian secara sadar menumbuhkembangkan kultur kehidupan, yaitu pola mental dan perilaku mendarah daging yang menghargai keselamatan dan kehidupan sebagai nilai-nilai eksistensial yang sangat penting, dan karena itu perlu dilindungi, dirawat, dan ditumbuhkembangkan.
Dapat disebutkan lima faktor perajut kultur kematian: pertama, ketidakmampuan menunda menikmati kepuasan atau kesenangan; kedua, kebiasaan menempuh jalan pintas, jalan instan, dan jalan impulsif; ketiga, kebiasaan mementingkan diri sendiri, mengabaikan tanggung jawab sosial, dan menghalalkan segala cara dalam rangka mencari keuntungan untuk diri sendiri; keempat, kebiasaan meremehkan pertanggungjawaban hukum; kelima, pandangan hidup miopik dan sempit.
Kelima faktor itu perlu diatasi dan dilampaui (ditransendensi) demi hidup yang makin diresapi kultur kehidupan dan kian meninggalkan kultur kematian.
Dr dr Limas Sutanto SpKJ (K) MPd, psikiater konsultan psikoterapi, pengajar psikoterapi pada program studi psikologi Fakultas Ilmu Pendidikan dan pengajar konseling pada Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang
Sumber: jawa pos dotcom
0 komentar:
Posting Komentar