Meskipun sejak 10 November 1945 Surabaya terkenal sebagai Kota Pahlawan, tidak banyak yang tahu bahwa kota ini tidak mempunyai pahlawan nasional yang diakui pemerintah.
Setidaknya, ketiadaan pahlawan itu berlangsung sampai 7 November 2008, ketika pada akhirnya pemerintah mengakui dan menyatakan bahwa Bung Tomo, tokoh penting perlawanan arek-arek Suroboyo melawan sekutu, adalah pahlawan nasional.
Sungguh penantian amat lama. Dengan demikian, sekarang Surabaya sempurna disebut sebagai "Kota Pahlawan" karena sudah memiliki pahlawan nasional yang diakui pemerintah.
Sebagai anggota DPR yang mewakili dapil I Jatim (Surabaya dan Sidoarjo), sudah lama saya terpikir bahwa Surabaya disebut sebagai Kota Pahlawan, tetapi siapa pahlawan nasional dari ibu kota Jatim itu tidaklah jelas?
Setelah beberapa kali melakukan pengecekan, memang ternyata belum ada tokoh Surabaya, khususnya yang terlibat dalam perlawanan melawan sekutu pada 10 November 1945, yang mendapat gelar pahlawan nasional. Lebih terasa aneh karena untuk mendapat gelar pahlawan nasional harus ada "yang meminta" atau mengajukan dengan sejumlah prosedur yang ruwet.
Tampaknya, para birokrat di Departemen Sosial yang dipimpin Menteri Bachtiar Chamsyah berpendapat, semakin sulit dan rumit semakin baik. Akibatnya, Bung Tomo yang peranannya dalam berjuang melawan sekutu sudah sangat jelas kesulitan mendapat pengakuan tersebut.
Di zaman Soeharto, pengajuan pengakuan kepahlawanan Bung Tomo pernah ditolak karena syarat-syarat "administratifnya" tidak lengkap. Pengajuan yang sekarang pun, kabarnya, mula-mula agak berat karena Departemen Sosial menaruh Bung Tomo dalam ranking yang agak bawah. Namun, akhirnya, berkat sikap bijaksana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sikap Departemen Sosial diubah sehingga pada 7 November kemarin surat pengakuan kepada Bung Tomo sebagai pahlawan nasional disampaikan.
Memang, di Indonesia ini sangat aneh. Untuk diakui sebagai pahlawan nasional perlu "sponsor". Tim yang menjadi sponsor inilah yang mengurus segala macam tetek bengek agar tokoh yang disponsorinya diakui sebagai pahlawan. Dengan demikian, memang bukan urusan mudah untuk memperjuangkan gelar kepahlawanan nasional, meski perjuangannya sudah sangat terang benderang dan cetho welo-welo seperti Bung Tomo.
Misalnya, perlu ada seminar, penerbitan buku hasil penelitian bahwa seseorang yang diusulkan itu mempunyai nilai kepahlawanan dalam perjuangannya. Selain itu, harus mampu meyakinkan DPRD setempat agar mengeluarkan rekomendasi kepahlawanan seseorang.
Ini pun belum jaminan semuanya akan mulus. Mood para pejabat Departemen Sosial pun ikut menentukan. Dalam kasus Bung Tomo ini, kabarnya, nyaris didiskualifikasi dengan alasan waktu pengusulannya hampir terlambat.
Lebih dari itu, mood pejabat Departemen Sosial inilah yang sering bikin repot. Terus terang saja, saya sempat geregetan ketika mendengar kabar bahwa Departemen Sosial menempatkan Bung Tomo dalam ranking yang rendah. Itulah sebabnya, saya sangat gembira ketika diajak sejumlah elemen warga Surabaya yang tergabung dalam Masyarakat Pencinta Bung Tomo untuk menggalang aksi sejuta tanda tangan mendukung pemberian gelar pahlawan nasional untuk Bung Tomo.
Saya pun menghubungi RRI Surabaya yang merupakan tempat historis di mana Bung Tomo dengan mengucapkan takbir "Allahu Akbar" menyerukan perlawanan arek-arek Suroboyo terhadap penjajah. Ternyata, sambutan RRI cukup antusias, apalagi pihak RRI ternyata sudah dua kali menggelar seminar tentang Bung Tomo.
Tanggal 28 Oktober yang lalu, di RRI digelar pertemuan yang dihadiri sejumlah tokoh masyarakat dan aktivis mahasiswa/pemuda. Saya bersama teman-teman lain memulai gerakan sejuta tanda tangan dengan tekad. Isinya, jika sampai hari ini, tanggal 8 November, belum ada surat keputusan, maka kami akan menggelar Gerak Jalan Sejuta Rakyat Surabaya menuntut pemerintah segera mengakui Bung Tomo sebagai pahlawan nasional.
Tetapi, lantaran pemerintah sudah memberikan pengakuan tersebut pada 7 November, kami mengubah acara gerak jalan sebagai "syukuran" warga masyarakat. Gerak jalan akan dimulai dari lapangan Hockey, Gubeng, pukul enam pagi dengan pemberangkatan secara resmi oleh Menkominfo Muhammad Nuh.
Pantas Bersyukur
Warga kota Surabaya pantas bersyukur dan bergembira dengan keputusan pemerintah itu. Sebab, dengan demikian, perjuangan berdarah yang penuh pengorbanan dan air mata almarhum secara resmi diakui negara. Saya kira naif sekali kalau kita tidak bersyukur.
Terus terang, ketika saya mendengarkan rekaman pidato Bung Tomo di RRI Surabaya yang diputar ulang dan kami dengarkan secara saksama, hati sangat tergugah dan semangat juang terasa membara. Berkali-kali saya harus mengusap mata yang basah karena sangat haru dan hati ini bercampur aduk tidak karuan. Saya yakin saat itu hanya begundal Belanda dan antek-antek NICA seperti tentara KNIL yang tidak tersentuh dan tergugah dengan seruan takbir Bung Tomo mengajak melawan penjajah.
Oleh sebab itu, mestinya pemerintah, setidaknya pemerintah Provinsi Jatim dan Pemkot Surabaya, membuat film dokumenter kepahlawanan Bung Tomo dan arek-arek Surabaya dalam berjuang melawan penjajah. Setiap tanggal 10 November, film tersebut wajib diputar di stasiun TV lokal di Jatim. Bahkan, kalau perlu, stasiun TV nasional di Jakarta.
Saya yakin pidato Bung Tomo dan film perlawanan arek Surabaya itu akan mampu menjadi inspirasi menguatnya nasionalisme yang kini terasa terkikis oleh berbagai ide dan gagasan asing.
Sosok Bung Tomo juga mestinya lebih banyak diperkenalkan kepada generasi muda. Daripada mereka mengenakan kaus bergambar tokoh revolusioner asing Che Guevara, mestinya lebih bangga mengenakan kaus bergambar Bung Tomo yang dengan wajah tegas mengomando perlawanan arek Surabaya melalui corong RRI. Bangsa ini memang baru kehilangan idola seorang tokoh yang sosok dan sepak terjangnya pantas diteladani.
Mudah-mudahan -meskipun agak lama menunggu- penganugerahan gelar pahlawan nasional yang disampaikan presiden kemarin tetap akan mampu memberikan sumbangan positif bagi perkembangan nasionalisme di Indonesia. [Jawa Pos]
0 komentar:
Posting Komentar